Pagi buta Azwar sudah disibukan dengan
undangan wawancara masuk kuliah ke Semarang. Sebenarnya sih Azwar memang nggak
niat-niat banget, eh dia malah lolos tahap satu. Kita tahu bersama bahwa Azwar
adalah orang yang sembrono alias ngomong sak karepe udele. Bersama
sahabatnya Jarwo dia menuju Semarang. Yang dia juluki sebagai kota rob.
Dengan motor bututnya dia harus
berangkat sebelum adzan subuh berkumandang, karena kalau telat sedikit saja dia
akan jadi pepes di sepanjang kawasan Sultan Agungn. Jika Jarwo dikondisi
seperti itu dia pasti sudah protes ngalor
ngidol menyalahkan siapa saja yang berkaitan dengan pemegang kebijakan. Setelah
menempuh perjalanan yang panjang akhirnya mereka berdua sampai di Universitas
tujuan.
Sialnya Azwar harus mendapat nomor urut
186. Dan itu nomor terakhir. Jarwo yang tidak sabar menunggu Azwar akhirnya
mengelilingi Univeritas yang katanya besarnya sama dengan kampung Jarwo.
Naluriah Jarwo muncul saat ada segerombolan mahasiswi yang menamakan dirinya Islamic Modern Community. Dia memegangi
juniornya agar tidak berdiri dan menyembul. Bisa malu dong Jarwo. Namun
juniornya juga pengen eksis dengan
menyatakan “Saya tidak impoten”. Jarwo memang benar-benar sudah kualat.
Nafsunya liar. Padahal para mahasiswi sudah mengenakan pakaian muslim yang
tertutup rapat serapat-rapatnya sampai-sampai Jarwo tidak meihat celah antara
kulit dan kain pakaian. Ya Jarwo memang sudah melihat karya Tuhan yang sungguh
indah. Makanya juniornya menegang.
Menjelang adzan ashar akhirnya Azwar
mendapat giliran wawancara. Pertanyaan pembuka khas wawancara berjalan lancar.
Ceritakan latar belakangmu, bagaimana kondisi ekonomi keluarga, dan pertanyan
wajib pewancara seleksi, kenapa kamu memilih kuliah disini?. Azwar menjawab
dengan mudah karena ini hanyalah pertanyaan untuk menguji kecakapan dalam
berbicara. Ini sih makanan Azwar sehari-hari. Nampaknya juri wawancara sudah
kelelahan. Dia bemalas-malasan dalam bertanya. Namun, bukanlah Azwar kalau
belum kurang ajar.
“Apa hal yang paling sulit yang pernah
kamu alami dalam hidup?” Juri bertanya dengan malas
“Saya lahir diantara orang-orang yang
tidak jujur seperti peserta wawancara sebelum-sebelumnya saya yang terlihat
sempurna, padahal asline podo wae”. Azwar
juga menjawab dengan malas
“Dari segi apa ketidak jujuran mereka?”.
Juri berdehem
“Dari segi mana saja Pak Dosen. Masa
lalu mereka terlihat sempurna tanpa cacat apalagi mengalami proses kegagalan.
Mereka seperti sudah memiliki semuanya dan tidak perlu lagi menempuh
perkuliahan. Apakah itu yang dicari dari wawancara ini Pak Dosen?. Padahal
disini adalah tempatnya orang-orang yang haus akan ilmu pengetahuan bukan pamer
intelektual”.
“Hahahaa, kamu ini lho aneh. Ini kan
wawancara masuk kuliah, ya harus mencari yang terbaik. Apalagi ini jalur khusus
siswa berprestasi. Yang terbaiklah yang akan diterima, agar mereka
berkontribusi untuk Univeritas dengan prestasinya”.
“lho ini jalur khusus siswa berprestasi
toh. Kenapa saya diundang wawancara?. Saya kan ndak punya prestasi?”
“Saya kan tadi udah bilang, kalau ini
jalur KHUSUS” Juri tersenyum sumringah.
Azwar dan Juri akhirnya keluar dari
Auditorium menuju warung kopi di pasar murah belakang Uiversitas. Mereka jagong ngalor ngidol dan semakin akrab
hanya karena satu kata “KHUSUS”. Setelah maghrib Azwar akhirnya bertolak ke
Jepara. Namun dia lupa satu hal penting. Dia pulang tanpa sahabat karibnya.
Jarwo. Kata Jarwo dia akan pulang besok pagi karena malam ini dia harus
menginap di kos teman barunya yang menjadi anggota Islamic Modern Community.
Azwar, 17 Tahun