Sunday, June 11, 2017

Hidup Sesungguhnya adalah Dagelan


Entah hari ke berapa setelah ibuku dinyatakan membaik. Beliau dipindahkan dari ruang Intensive Care Unit (ICU) ke ruang kelas 1 Musdalifah. Berhari-hari di rumah sakit aku sudah akrab dengan bau obat-obatan juga kesengsaraan hidup. Aku lebih segan dengan menyebutnya “Universitas Kehidupan”.

Setiap malam ibu dijenguk saudara, tetangga juga teman-temannya, beragam cara bersimpati ditunjukan. Ada yang mendoakan, memberikan buah, juga memberi “amplop”. Sebenarnya bapaku sudah melarang orang yang menjenguk ibu memberi amplop dengan alesan lebih baik uang itu digunakan untuk yang lain karena perawatan ibu sudah tercover BPJS.

Suatu malam kakak perempuan ibuku datang bersama Pak Dhe, seperti sudah menjadi adat, Pak Dhe langsung saja dijagongi bapaku untuk tahu kondisi ibu. Mau tidak mau aku harus terlibat dalam jagongan orang tua ini.

Sekitar pukul 10 malam di ruang musdalifah no 1.14 aku mendapat pembelajaran hidup yang luar biasa. Ibuku bersama saudaranya sedang curhat diranjang, aku, bapak dan Pak Dhe di sofa tunggu mulai meninggalkan topik peyakit ibu dan beralih ke topik pendidikan. Ibu dari ranjang langsung nerabung ikut nerocos membahas kuliahku.

ndee yo butuh duet akeh kang sehabis lebaran ini” ibuku sedikit mengangkat kepalanya dari ranjang.
Kabeh yo ngko ono dalane mbak, ojo sek mbok pikir mbak malah tambah down kondisimu” Pak Dhe menyahuti ibu sambil bergurau. Watak Pak Dhe ini sangat santai dan suka bercanda, Pak Dhe dikaruniai satu anak perempuan yang sekarang ini menempuh strata satu di UMS mengambil Jurusan Pendidikan Kewarganegaraan. “Pak Pri (Bapaku) yo PNS, setiap bulan kan pasti ada pemasukan” gurau Pak Dhe.

Pak Dhe adalah seorang sopir serabutan dengan pendapatan yang tidak pasti dan tidak bisa diharapkan. Tapi bersama Istrinya beliau dengan modal nekat menyokolahkan anaknya sampai setinggi mungkin. Masalah biaya menurutnya adalah urusan Tuhan. Karena dalam janji Nya setiap anak yang dilahirkan di dunia sudah digariskan dalan rejekine. Ketika ditanya bapaku berapa biaya per semester anaknya, Pak Dhe santai menjawab “nek dipikir yo rak kebayar, tapi pol saiki yo mulo durong drop out, Gusti iku kurang teliti nek masalah itung-itungan”. Pak Dhe tertawa sampai garis mukanya timbul.

Kerasnya kehidupan dunia menurut Pak Dhe hanyalah dagelan semata, beliau sudah menyelami manis pahitnya kehidupan sampai beliau berani mengatakan Tuhan kurang teliti dalam berhitung. Yang pasti itu bukan arti dalam sesungguhnya, itu hanya kiasan, bahwa pasti disediakan rejeki dalam menggapai karunia ilmu Nya. Lalu Pak dhe berpesan kepadaku dengan sedikit tersenyum dan memegang pundaku “Kalau di Jogja ojo cedak-cedak truk nek nyepeda, soale sopir ijeh akeh seng koyok Pak Dhe, ugal-ugalan nyupire”. Ruangan Musdalifah No. 1.14 riuh sesaat, melesat menertawakan kehidupan yang seperti dagelan ini.

Azwar, 17 Tahun.



0 komentar:

Post a Comment

www.ayeey.com www.resepkuekeringku.com www.desainrumahnya.com www.yayasanbabysitterku.com www.luvne.com www.cicicookies.com www.tipscantiknya.com www.mbepp.com www.kumpulanrumusnya.com www.trikcantik.net