Entah hari
ke berapa setelah ibuku dinyatakan membaik. Beliau dipindahkan dari ruang Intensive Care Unit (ICU) ke ruang kelas
1 Musdalifah. Berhari-hari di rumah sakit aku sudah akrab dengan bau
obat-obatan juga kesengsaraan hidup. Aku lebih segan dengan menyebutnya
“Universitas Kehidupan”.
Setiap malam
ibu dijenguk saudara, tetangga juga teman-temannya, beragam cara bersimpati
ditunjukan. Ada yang mendoakan, memberikan buah, juga memberi “amplop”.
Sebenarnya bapaku sudah melarang orang yang menjenguk ibu memberi amplop dengan
alesan lebih baik uang itu digunakan untuk yang lain karena perawatan ibu sudah
tercover BPJS.
Suatu malam
kakak perempuan ibuku datang bersama Pak Dhe, seperti sudah menjadi adat, Pak
Dhe langsung saja dijagongi bapaku untuk tahu kondisi ibu. Mau tidak mau aku
harus terlibat dalam jagongan orang tua ini.
Sekitar
pukul 10 malam di ruang musdalifah no 1.14 aku mendapat pembelajaran hidup yang
luar biasa. Ibuku bersama saudaranya sedang curhat diranjang, aku, bapak dan Pak
Dhe di sofa tunggu mulai meninggalkan topik peyakit ibu dan beralih ke topik
pendidikan. Ibu dari ranjang langsung nerabung
ikut nerocos membahas kuliahku.
“ndee yo butuh duet akeh kang sehabis lebaran
ini” ibuku sedikit mengangkat kepalanya dari ranjang.
“Kabeh yo ngko ono dalane mbak, ojo sek mbok pikir
mbak malah tambah down kondisimu” Pak Dhe menyahuti ibu sambil bergurau. Watak
Pak Dhe ini sangat santai dan suka bercanda, Pak Dhe dikaruniai satu anak
perempuan yang sekarang ini menempuh strata satu di UMS mengambil Jurusan
Pendidikan Kewarganegaraan. “Pak Pri
(Bapaku) yo PNS, setiap bulan kan pasti ada pemasukan” gurau Pak Dhe.
Pak Dhe
adalah seorang sopir serabutan dengan pendapatan yang tidak pasti dan tidak
bisa diharapkan. Tapi bersama Istrinya beliau dengan modal nekat menyokolahkan
anaknya sampai setinggi mungkin. Masalah biaya menurutnya adalah urusan Tuhan.
Karena dalam janji Nya setiap anak yang dilahirkan di dunia sudah digariskan dalan rejekine. Ketika ditanya bapaku
berapa biaya per semester anaknya, Pak Dhe santai menjawab “nek dipikir yo rak kebayar, tapi pol saiki yo mulo durong drop out,
Gusti iku kurang teliti nek masalah itung-itungan”. Pak Dhe tertawa sampai
garis mukanya timbul.
Kerasnya kehidupan
dunia menurut Pak Dhe hanyalah dagelan
semata, beliau sudah menyelami manis pahitnya kehidupan sampai beliau berani
mengatakan Tuhan kurang teliti dalam berhitung. Yang pasti itu bukan arti dalam
sesungguhnya, itu hanya kiasan, bahwa pasti disediakan rejeki dalam menggapai
karunia ilmu Nya. Lalu Pak dhe berpesan kepadaku dengan sedikit tersenyum dan
memegang pundaku “Kalau di Jogja ojo
cedak-cedak truk nek nyepeda, soale sopir ijeh akeh seng koyok Pak Dhe, ugal-ugalan
nyupire”. Ruangan Musdalifah No. 1.14 riuh sesaat, melesat menertawakan
kehidupan yang seperti dagelan ini.
Azwar, 17
Tahun.
0 komentar:
Post a Comment