Jarwo hari ini nampak gelisah di teras rumahnya. Ditemani segelas kopi dan buku bacaan “Slilit Pak Kiai” dari Cak Nun. Mulailah dia merenungi nasibnya. Teman-temannya sedang sibuk mempersiapkan lamaran pekerjaan, Jarwo malah hanya duduk termenung gelisah. Bukanya dia malas, kalau boleh sedikit sombong, dia termenung untuk menentukan pilihan pekerjaan mana yang harus Jarwo ambil. Jarwo mendapat banyak tawaran pekerjaan karena skillnya bisa dibilang mumpuni.
Tapi dia punya komitmen dengan sahabatnya Azwar untuk menjadi seorang pengusaha. Karena menurut mereka pengusaha adalah kaum minoritas namun mengendalikan mayoritas. Pernah suatu ketika ia bedebat mengenai nasib pengusaha dengan Azwar.
“Jadilah pengusaha maka kamu mengurangi
satu pengangguran di Indonesia” Azwar sok bijak.
“Bukanya di sini yang dianggap mapan
adalah seorang pegawai. Apalagi pegawai negeri, ya pasti dapat istri yang
semok” Jarwo menyahut.
“Maksut kamu piye wo, bojone pegawai negeri kok semok?”
“Sok
nggobloki kue war, jual beli jabatan kan nggak harus menggunakan uang.
Kalau bisa menjadi bisnis keluarga kan akan semakin mudah”.
“lha terus apa relasinya dengan istri
semok?”.
“Manusia adalah tempat bersarangnya hawa
nafsu, di hadiahi istri aduhai dan lihai di ranjang ya proyek pasti jalan”.
“Oh saya paham maksut kamu wo”.
“Tapi saya setuju denganmu untuk menjadi
pengusaha, karena pegawai hanya bekerja untuk orang lain dan main aman. Namun
seorang pengusaha harus menentukan nasibnya sendiri. harus gagah berdiri, ulet,
kreatif, dan berani jatuh dalam kehidupan” Jarwo semangat sekali.
“Wo Jarwo, sopo ngomong pegawai bekerja untuk orang lain. Pak Pejabat itu
pegawai, nyatanya dia bekerja untuk dirinya sendiri”. Azwar menambahi
“Jancok
kue war”.
Setelah menimbang-nimbang, Jarwo gagal
menentukan pilihan. Dia teringat kata seniman Pak Didit endro yang rumahnya
satu blok dengan sahabatnya Azwar. “Demokrasi kita saat ini adalah Dari Rakyat,
Oleh Pemerintah, Untuk Pengusaha”. Jarwo berasumsi bahwa pengusaha juga makhluk
bejat seng senengane nyogok pejabat
gara-gara teringat kalimatnya Pak Didit.
Jarwo sampai mendirikan sholat
istikharah demi memantapkan pilihan. Setelah memanjatkan doa dengan khusuknya,
akhirnya jarwo mendapat ilham. Lebih baik demokrasi Dari Rakyat, Oleh
Pemerintah, Untuk Pengusaha daripada Dari Rakyat, Oleh Pemerintah, Untuk
Pejabat. Karena kalau diperuntukan untuk pengusaha maka akan membuka lapangan
kerja untuk banyak orang. Bayangkan kalau untuk pejabat. Paling pol ya untuk antek-anteknya. Tapi Jarwo lebih memlih menganggur untuk saat ini
demi menemani sahabatnya Azwar yang tak kujung menentukan nasib.
Azwar, 17 Tahun
0 komentar:
Post a Comment