Menurut
hadis nabi orang yang harus pertama kali kita hormati adalah Ibu, Ibu, Ibu
selanjutnya baru Bapak. Tapi dalam hal mendidik anak-anaknya peran keduanya
haruslah seimbang. Seorang Ibu yang pengasih dan seorang Bapak yang bijaksana
akan menghasilkan anak-anak berkarakter dan mempunyai perangai baik. Aku
sekarang duduk di kelas tiga di salah satu SMK di Kota Jepara. Dan sebentar
lagi akan graduated. Insyallah.
Aku
dua bersaudara. Kakak perempuanku sekarang sudah bekerja di salah satu proyek
besar milik Jepang sebagai akuntan. Ibuku orang yang bertanggung jawab dengan
segala urusan rumah dan Bapak adalah seorang PNS yang bertugas di Taman
Kanak-Kanak sebagai Guru Pengajar. Umurku sekarang menginjak delapan belas dan
Aku masih bisa menghitung berapa kali aku bercakap dengan Bapaku. Semenjak Aku
duduk di kelas 3 SMP, Bapak mulai berubah cara mendidiknya. Yang dulunya selalu
dimanja dan dinomorsatukan sekarang Bapak lebih bijaksana.
Aku
masih ingat ketika dulu waktu masih duduk di sekolah dasar. Masa-masa itu Aku ingin
mencoba banyak hal untuk menemukan jati diri. Pernah mengikuti Sekolah Sepak
Bola juga Pencak Silat selama satu tahun dan selama itu pula Bapak selalu
mengantar dan menemaniku. Bukannya Aku manja tapi Bapak yang memintanya. Karena
beliau paham akan tanggung jawab perkembangan anaknya. Pernah sekali aku mengecewakan beliau yang
hingga saat ini aku masih mengingatnya dengan jelas.
Saat
itu pagi hari, hujan lebat mengguyur kota. Bapaku siap mengantarkanku berangkat
sekolah. Aku kelas 3 SMP. Perjalananku menuju sekolah aman-aman saja. Hingga
tiba-tiba sebelum tikungan terakhir menuju sekolah, motor Bapak terperosok ke
lubang jalan yang tertutup genangan air. Saat itu sudah pukul 07.00. Aku turun
dari motor mulai berhitung dengan keadaan, kalau Aku bantu Bapak mengeluarkan
motor dari kubangan akan memakan banyak waktu dan Aku telat masuk sekolah. Seragam
osisku semakin basah kuyup. Saat itu Aku benar-benar mengambil keputusan yang
bodoh. Tanpa bercakap dengan Bapak, Aku sudah berlari meninggalkan Bapak yang
masih sibuk mengeluarkan motor dari kubangan. Aku mulai menembus hujan menuju
gerbang sekolah dengan berasumsi Bapak pasti akan mengijinkanku tidak
membantunya karena ditakutkan akan telat. Ternyata asumsiku salah besar. Saat Aku
pulang ke rumah, Ibuku marah besar karena Aku meninggalkan Bapak sendirian
berjuang mengeluarkan motor dari kubangan. Aku masih ingat sekali Ibuku
mengucapkan kalimat ini. “Apakah gurumu pernah mengajari kamu meninggalkan
orang tua yang kesusahan, lihat Bapakmu, sekarang demam tinggi karena kau. Hari
ini kau buat kesalahan besar. Bukan karena kau meninggalkannya saat hujan, tapi
kau lancang meninggalkan orang tua tanpa pamit”. Dan mulai dari kejadian itu,
Bapak memilih diam dalam mendidiku. Diam dalam aritian bijaksana, membiakan Aku
mencari duniaku sendiri.
Aku
lulus SMP dan mencoba meneruskan ke salah satu SMA ternama. Nilaiku mencukupi
untuk itu. Bapak tidak mengarahkanku juga tidak membebani. Semuanya terserah padaku dan Bapak masih diam
dalam kebijaksanaan. Tapi akhirnya Aku memilih masuk SMK karena setelah lulus
Aku punya dua pilihan. Kuliah atau Kerja. Selama tiga tahun di SMK Aku mencoba
menyibukan diri mengikuti banyak kegiatan agar waktuku bisa kuhabiskan di
sekolah. Karena di rumah rasanya mulai sepi dicampur canggung kalau ada Bapak
dan Aku dirumah. Tidak saling sapa apa lagi bercanda ria. Hari-hari aku lewati
dengan intensitas percakapan yang minim sekali, bahkan dalam satu hari tidak
bercakap sama sekali. Kalau Aku sedang duduk di teras membaca buku dan Bapak
akan menikmati kopinya, Bapak memilih membatalkan niatnya menikmati kopi kalau
tahu ada Aku di teras. Bapak ini sedang menghukumku atau sudah menyesal punya
anak Aku. Sejak saat itu, Aku berpikir, mungkin Bapak memang sudah tidak peduli
denganku.
Sebentar
lagi Aku lulus dari SMK dan Aku ingin sekali meneruskan di Universitas Ternama.
Mengejar semua cita-cita dan melihat dunia yang sebelumnya hanya Aku lihat di
internet. Namun Ibuku mematahkan semangatku. “Bapakmu suruh kau pikir-pikir
dulu untuk masuk kuliah. Karena Bapakmu sedang sulit dalam ekonomi nak”. Ibuku
menjelaskan dengan Bahasa sebaik mungkin. Namun Aku tidak bisa menerimanya
dengan baik. Bulshit dengan ekonomi. PNS itu dijamin negara mulai dari
kesehatan sampai pendidikan anak-anaknya. Kenapa hanya membiayai kuiahku saja
harus dipikir -dipikir. Aku benci dengan Bapaku saat itu. Mungkin Bapak memang sudah
tidak peduli denganku apalagi pendidikanku. Aku kalah. Seharian Aku menangis
dalam kamar. Bapak memang sama sekali tidak peduli denganku.
Aku
semakin dewasa tapi intensitas komunikasiku dengan Bapak semakin hilang bahkan
luntur dan bahkan lagi Bapak sudah tidak peduli denganku. Aku teringat nasihat
bijak guru agama di sekolah yang mengatakan. “Ridho Allah tergantung ridho
kedua orang tua, jadi berbaktilah semampu kalian kepada orang tua. Dan ingat
ini baik-baik, semarah apapun orang tua kalian. Tidak akan pernah ada orang tua
yang membenci darah dagingnya sendiri”. Namun saat ini nasihat itu bagai angin
lalu.
Hingga
tengah malam Aku belum juga memejamkan mata. Aku mulai berpikir tentag
janji-janji masa depan yang segera sirna. Aku harus bertindak menyelamatkan
masa depan. Malam itu Aku membuat catatan dan rencana untuk mendapatkan uang
bagaimanapun caranya. Malam itu juga Aku bertekad kuliah dengan pendapatan
sendiri. Dan malam itu juga hatiku tersayar-sayat.
Adalah
tengah malam waktu sebagaian manusia beristirahat. Aku mendengar percakapan
Bapak dan Ibu di tengah sunyinya malam. Semua proses membuat rencana masa depan
Aku hentikan demi mendengar percakapan itu. “Pak, bagaimana dengan kuliah anak
kita?”. Ucap Ibu. “Aku sudah memikirkannya. Dia pasti berpikir kalau PNS itu
ada jaminan dan gajinya akan selalu utuh. Tapi Dia belum tahu kalau hidup ini
tidak hanya masalah pendidikan. Ada masalah lain yang harus segera diselesaikan.
Tapi bagaimanapun juga Dia harus
kuliah”. Jawab Bapak. Aku hanya diam. “nanti kalau memang tidak ada jalan
keluarnya Ibu akan jual perhiasan pak”. Ibu berkata lirih. Bapak menghela nafas.
“Andai dulu Bapak tidak terjebak dalam dunia hitam perjudian. Kita tidak akan
terlilit hutang juga angsuran rumah yang memberatkan, dan hari ini kita tidak
menyaksikan anak kita menangisi masa depannya. Tapi tenanglah Aku akan
bertanggung jawab atas pendidikan anaku dengan meminjam uang di Bank dengan
jaminan motor kita”. Bapak menyahuti Ibu. Mereka berdua terdiam. “Sudahlah Pak
tidak usah diingat kejadian itu yang penting saat ini adalah masa depan anak
kita”. “Anak kita sudah tidur setelah seharian menagis?”. Bapak bertanya.
“Mungkin sudah Pak”. “Aku merasa bersalah mendidik anaku sekeras ini dengan
cara mendiamkannya. Tapi ini demi kebaikannya, demi kedewasaannya. Semoga Dia
kelak menjadi anak yang luar biasa”. “Amin”. Ibu menangis
Hatiku
tersayat-sayat. Aku menangis sejadi-jadinya. Memeluk guling, menarik selimut
sampai menutup kepala dan berusaha menahan suara yang keluar dari tangisku.
Malam itu Aku menyesal pernah membenci Bapak. Benar kata guru agamaku. “Tidak akan pernah
ada orang tua yang membenci darah dagingnya sendiri”. Aku sayang Bapak dengan semua masa lalunya.
Beliau adalah teladan terhebat dalam mengarungi kehidupan. Aku tahu dari Ibu
perjuangan Bapak menjadi guru mulai dari bayaran tujuh puluh ribu hingga
sekarang yang sudah layak. Bapak rela membelikan Aku Laptop padahal Beliau
sendiri lebih membutuhkannya. Aku menyaksikan hingga larut malam Bapak mengurus
pekerjaan dengan penuh dedikasi. Dua puluh tahun lebih Bapak mengabdi menjadi
Guru. Dan selama itu pula Bapak tidak pernah mengeluh. Aku ingin sekali menghadiahi
Bapak di Ulang Tahunnya tahun ini dengan sebuah Laptop. Agar beliau lebih meningkatkan profesionalitasnya dalam
mengajar. Tapi Bapak, mengertilah Aku juga rindu bercanda gurau dengan engkau seperti
dulu. Aku memang beranjak dewasa tapi kasih sayangmu Aku butuhkan sepanjang
masa. Bapak bicaralah. Aku Rindu
Azwar
17 Tahun.
0 komentar:
Post a Comment